Rabu, 18 Januari 2012

PENYAIR INDONESIA DAN KARYANYA (ANGKATAN BALAI PUSTAKA-1953/1961)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Belajar sejarah tidak selalu dari buku-buku sejarah di sekolah. Ada banyak cara untuk belajar sejarah, salah satunya melalui sastra. Taufik ismail mengemas sejarah dalam puisi-puisinya yang masa ketika indonesia pada tahun 1966. Taufik ismail merangkum peristiwa-peristiwa sejarah pada tahun 1966 dalam dua kumpulan puisinya Tirani dan Benteng yang kemudian di terbitkan dalam sebuah buku dengan judul yang sama, Tirani dan Benteng. Dalam kedua kumpulan puisinya ini, Taufik jujur kepada para pembacanya mengenai semua yang terjadi pada tahun 1960 hingga 1966.
Kritikus H.B.Jassin (almarhum) menobatkan Chairil Anwar  sebagai “ pelopor angkatan 45 “, sebuah periodisasi sastrawan Indonesia yang di namai dengan angka keramat tahun kemerdekaan republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandandkan sepirit perjuangan dan kejuangan bangsa.

1.2    Tujuan
•    Untuk mengetahui latar belakang penyair.
•    Untuk mengetahui penyair-penyair indonesia angkatan 1953-1966.
•    Untuk mengetahui karya-karya penyair angkatan 1953-1966.

1.3    Manfaat
Sebagai bahan pembelajaran, tidak hanya untuk mahasiswa tetapi bemanfaat untuk umum. Dengan mempelajari latar belakang penyair kita dapat mengetahui bagaimana sebuah karya itu tercipta, selain itu kita dapat mengetahui penyair-penyair indonesia sekaligus karya-karya yang telah mereka hasilkan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Penyair Angkatan Balai Pustaka

a.    Muhammad Yamin
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal dunia pada tanggal 26 Oktober 1962. Karya-karyanya diantaranya tanah air dan bahasa, bangsa. Berdasarkan dari judul karya-karyanya beliau termasuk seorang nasionalis yang memiliki rasa cinta terhadap tanah air.

b.    Roestam Effendi
Rostam Effendi dilahirkan pada tahun 1902 dan menulis pada tahun 1924 dengan bukunya yang berjudul bebasari, kemudian disusul dengan buku yang bejudul percikan permenungan (1926). Penyair ini juga mempunyai sikap nasionalisme yang tinggi.

c.    Sanusi Pane
Sanusi Pane dilaahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun. Kumpulan puisi Sanusi Pane banyak menulis puisi diantaranya pancaran cita dan puspa mega.

2.2    Penyair Periode 1953-1961

a.    Willibrordus Surendra Bawana Rendra
Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra), lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai “Burung Merak”. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.

b.    Sitor Situmorang
Sitor situmorang lahir di harian boho, sebuah desa di danau toba sumatera utara. Ayahnya pernah menjadi orang penting dalam melawan gangguan belanda dan harus menanggung akibatnya. Desanya di bakar dan orangnya di paksa menetap di lembah dekat danau, meninggalkan sisa-sisa dingin kebudayaan batak, yang dalam puisi sitor kemudian menjadi lambang asal usulnya. Sebagai anak kecil, sitor dikirim ke sekolah belanda tempat ia di perkenalkan kebudayaan barat . Ia mengembangkan kepekaan pusitisnya dalam gaung tradisi lisan batak yang di gabung dengan lagu pujian dan khotbah kristen, serta bunyi bahasa melayu, bahasa komunikasi sehari-hari.
Bahasa melayu merupakan bahasa masa depan, juga bahasa masa lalu, bahasa pantun dan syair, bahasa penyair amir hamzah dan hamzah hansyuri, yang karyanya telah mengilhami sitor dalam menggapai keseimbangan dan keselarasan antara bunyi dan irama. Dalam hal bahasa dan gagasan, sitor memiliki silsilah multi bentuk, cukup kuat untuk mencabut dari akarnya serta memberi pegangan dalam dunia kerinduan dan kesepian, keingintahuaan dan nafsu mengembara baru diciptakannya sendiri.

Contoh puisi sitor situmorang:
•    Petikan Dari “Anak Yang Hilang”.
•    Enam Benua.
•    Angin Di Danau Zurich.

Puisi angkatan 50
Subagio Sastro Wardojo
Dalang
Pulang dari seberang pantai
Lidahnya seperti kelu
Dan ia tak sedia
Memainkan lagi bonekanya
Pondoknya tertutup buat tamu
Rakyat yang kebingungan
Mendobrak pintunya dan berteriak :
- Kisahkan lakon hidup ini
dan terangkan apa artinya!
Terbangun dari keheningan
Ia menulis sajak satu kata
Yang paling bagus
Berbunyi “Hong”.
Puisi di atas, memperlihatkan ciri-ciri angkatan 50. Ciri-ciri yang terdapat dalam puisi Dalang karya Subagio Sastro Wardojo adalah berupa epik. Puisi tersebut menceritakan keadaan seorang dalang yang tidak mau bercerita lagi kemudian dia diprotes oleh rakyat untuk menceritakan sebuah lakon.. Selain itu, muncul gaya slogan yang muncul pada baitnya yang kedua baris terakhir.
...Ia menulis sajak satu kata yang paling bagus.
Berbunyi “Hong”
Dalam puisi ini juga terdapat gaya puisi liris. Pada bait pertama puisi ini sangat datar ketika masuk bait kedua emosi yang ditampil oleh pengarang mulai meninggi.
Dekade 50-an
1.    Rendra dengan kumpulan puisinya “Balada Orang-orang Tercinta”.
Penyair ini masih kreatif sampai sekarang.
2.    Sitor situmorang
•    Petikan Dari “Anak Yang Hilang”.
•    Enam Benua.
•    Angin Di Danau Zurich.
Angkatan ‘66 dengan tokoh-tokohnya antara lain:
1.    Taufiq Ismail dengan kumpulan puisinya “Tirani” dan “Benteng”.
2.    Sapardi Joko Damono dengan kumpulan puisinya “Duka-Mu Abadi”.
3.    Hartoyo Andangjaya dengan kumpulan puisinya “Buku Puisi”.
4.    Bur Rasuanto dengan kumpulan puisinya “Mereka Telah Bangkit”.
Pada tahun 1950, beberapa ahli sastra beranggapan bahwa kesusastraan mengalami kemunduran. Salah satu tokoh yang berpandangan bahwa kesusastraan Indonesia mengalami kemunduran adalah Sujadmoko. Dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi, Sujadmoko melihat adanya krisis sastra akibat adanya krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata-mata.
Akan tetapi, tulisan Sudjadmoko tersebut mendapat reaksi keras terutama dari para sastrawan. Para sastrawan tersebut antara lain, Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh. Mereka mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia tumbuh subur. H.B. Jassin dalam simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1954 mengemukakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tidak mengalami krisis. Dia mengemukannya dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap. Pada tahun 1955, dalam simposiun yang diadakan kembali di Fakultas sastra Universitas Indonesia, Harijadi S Hartowardojo mengemukakan pendapatnya melalui tulisan yang berjudul Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar. Selain dalam simposium tersebut pendapat mengenai lahirnya angkatan sastra baru muncul dalam simposium-simposium yang diadakan di Yogyakarta, Solo, dan lain-lain.
Pada tahun 1960, dalam simposium yang diadakan di Jakarta, Ajib Rosidi mengemukakan sumbangan terbaru sastrawan Indonesia untuk perkembangan kesusastraan Indonesia. Dia mencoba mencari ciri-ciri yang membedakan angkatan terbaru dengan angkatan 45. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa sikap budaya pada sastrawan yang tergolong angkatan baru merupakan sintesis dari dua sikap ekstrim mengenai kebudayaan Indonesia. Sikap yang pertama adalah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah, sedangkan sikap kedua adalah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang mendunia. Maka sikap sintesisnya adalah kebudayaan nasional Indonesia akan berkembang dalam masyarakat Indonesia masakini, yaitu adanya kebudayaan daerah dan pengaruh dari luar.
Pada tahun 1966, dalam fajar zaman politik Indonesia baru, yaitu zaman Orde Baru, puisi mulai memainkan peranan sosial yang penting penting. Diilhami oleh beberapa sajak Chairil Anwar yang dirasa telah melontarkan perasaan pemuda yang memandang dirinya sebagai angkatan baru pejuang kemerdekaan. Sejumlah mahasiswa mulai menulis puisi kemudian diterbitkan dalam lembaran-lembaran stensilan dan memperoleh popularitas walau tidak lama. Nama-nama penyair yang lahir pada tahun 1966 adalah Taufik Ismail yang menerbitkan dua kumpulan sajaknya berjudul Benteng dan Tirani; Mansur Samin dengan Perlawanan; Bur Rasuanto dengan Mereka Telah Bangkit yang mengingatkan pada judul cerita pendeknya terdahulu yang berjudul Mereka akan Bangkit; dan Abdul Wahid Situmeang dengan Pembebasan di samping itu, terbit juga kumpulan berjudul Kenangkitan, yang merupakan tulisan bersama lima orang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Semua buku kecil tersebut muncul pada 1966.
Ciri-ciri puisi tahun ini merupakan sajak-sajak perlawanan. Ciri-ciri tersebut terlihat dari judul-judul puisinya. Sajak tahun 1966 pertama-tama bukanlah sebagai seni melainkan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan. Meskipun demikian, tidak semua sajak-sajak tersebut sekadar untaian kosong. Ada juga sajak-sajak yang menyuarakan tuntutan-tuntutan konkret tentang pangan dan kubutuhan hidup lain.
Secara garis besar, angkatan 50 adalah angkatan yang dimulai dari tahun 1950-1970. Secara instrinsik, terutama unsur estetiknya angkatan 45 dan angkatan 50 sulit dibedakan sebab gaya angkatan 45 dapat dikatakan diteruskan oleh angkatan 50. Adanya pergantian situasi dari perang kemudian damai, maka para sastrawan mulai memikirkan masalah-masalah yang kemasyaraktan. Pada angktan ini muncul berbagai parta politik yang memilki lembaga kebudayaan sendiri, seperti PNI mempunyai LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), partai Islam mempunyai Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia), dan PKI mempunyai Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat). Munculnya berbagai partai yang mempunyai lembaga kebudayaan sendiri menyebabkan corak kesusastraan Indonesia bermacam-macam.
    Sastrawan-sastrawan yang mulai menulis pada dekade 50-an:

•    Kirdjomuljo
•    WS Rendra
•    Ajib Rosidi
•    Toto Sudarto Bachtiar
•    Ramadhan KH
•    Nugroho Notosusanto
•    Subagio Sastrowardojo
•    Mansur Samin
•    N.H. Dini
•    Trisno Juwo
•    Rijono Praktikno
•    Alexandre Leo
•    Jamil Suherman
•    Bokor Hutasuhut
•    Bastari Asnin. Sularto
•    Motinggo Busje
•    Nasjah Djamin
•    Mohamad Diponegoro
•    Toha Mochtar
•    Ratmono Sn
•    Piek Ardydyanto
•    Hartojo Andangdjaja.

Para sastrawan Lekra yang menonjol dantaranya Bakri Siregar, Kalara Akustia, S. Anantaguna, F.L. Risakota, H.R. Banadaharo, dan Sabron Aidit. Sastrawan yang mulai menulis dekade 60-an, antara lain adalah Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Jt, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Kunto Wijoyo, Fudoli Zaini, Danarto, Sutardji Calzoum Bahri, Budi Darma, dan abdul Hadi W.M.
Ciri-ciri puisi angkatan 50 antara lain,
1.    Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang sederhana dari puisi liri,
2.    Gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada,
3.    Gaya ulangan mulai berkembang,
4.    Gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya angkatan 45,
5.    Gaya slogan dan retorik.

2.3    Analisis Puisi
Angkatan 50an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.









BAB III
PENUTUP

1.1    Simpulan
Sastrawan-sastrawan yang mulai menulis pada dekade 50-an:

•    Kirdjomuljo
•    WS Rendra
•    Ajib Rosidi
•    Toto Sudarto Bachtiar
•    Ramadhan KH
•    Nugroho Notosusanto
•    Subagio Sastrowardojo
•    Mansur Samin
•    N.H. Dini
•    Trisno Juwo
•    Rijono Praktikno
•    Alexandre Leo
•    Jamil Suherman
•    Bokor Hutasuhut
•    Bastari Asnin. Sularto
•    Motinggo Busje
•    Nasjah Djamin
•    Mohamad Diponegoro
•    Toha Mochtar
•    Ratmono Sn
•    Piek Ardydyanto
•    Hartojo Andangdjaja.

Angkatan ‘66 dengan tokoh-tokohnya antara lain:
1.    Taufiq Ismail dengan kumpulan puisinya “Tirani” dan “Benteng”.
2.    Sapardi Joko Damono dengan kumpulan puisinya “Duka-Mu Abadi”.
3.    Hartoyo Andangjaya dengan kumpulan puisinya “Buku Puisi”.
4.    Bur Rasuanto dengan kumpulan puisinya “Mereka Telah Bangkit”.
Ciri-ciri puisi angkatan 50 antara lain,
1.    Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang sederhana dari puisi liri,
2.    Gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada,
3.    Gaya ulangan mulai berkembang,
4.    Gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya angkatan 45,
5.    Gaya slogan dan retorik.

1.2    Saran
Lebih banyak membaca buku-buku sejarah sastra terutama sejarah puisi karena itu akan menambah pengetahuan kita terhadap perkembangan puisi dari zaman dahulu hingga sekarang.

1 komentar:

  1. Akan lebih bijak jika angkatan selanjutnya ditulis sebagai referensi anak cucu kita

    BalasHapus