Minggu, 29 Januari 2012

CACAT FISIK TIDAK MENJADI MASALAH BAGI ENCAH

Anak merupakan sebuah anugrah bagi para orang tua. Seorang anak lahir di dunia dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada anak dengan kondisi normal tetapi ada juga anak yang lahir dengan membawa ”kelainan-kelainan” seperti autis, down syndrome, hiperaktif, tuna rungu, cacat fisik, dan lain-lain. Istilah special need atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) digunakan untuk menggantikan kata anak cacat atau ”Anak Luar Biasa (ALB)”, yang menandakan adanya kelainan khusus tersebut untuk menghindari konotasi negatif (Delphie, 2006:1).
Di daerah Cibarusah tepatnya di kampung leuwimalang RT 07/RW 04 kecamatan Cibarusah kabupaten Bekasi, terdapat seoarang anak penyandang cacat yang bernama Encah Aisyah, anak ini merupakan anak dari pasangan bapak Endi dan ibu Darsih. Ketika encah lahir, ia sebenarnya bukan anak penyandang cacat. Namun, ketika umurnya kira-kira lima bulan, ia mengalamin sakit kejang dan demam yang sangat tinggi. “Ibu tidak sanggup membawa Encah ke klinik, karena waktu itu keadaan ekonomi keluarga ibu sedang rendah. Ibu hanya bisa merawatnya sendiri di rumah. Namun, kenyataan buruk menimpa ibu dan ibu harus menerima kenyataan bahwa anak ibu cacat” (Ujar ibu Darsih dengan perasaan sedih).
Encah adalah anak yang rajin. Terbukti ketika saya menyambangi rumahnya pada sore hari, ia sedang menyetrika baju. Ibu Darsih juga merasa bangga karena dengan keterbatasan fisik anaknya, Encah masih bisa melakukan sesuatu sendiri dan bahkan membantu pekerjaan rumah. Terkadang ia juga menyapu halaman rumah dan membersihkan tempat tidurnya sendiri. Selain merasa bangga, ibu darsih juga sering merasa sedih karena tidak tega melihat anaknya seperti itu.
Sekarang ini, Encah telah berusia 12 tahun dan pada tahun ajaran baru 2011 ini ia masuk sekolah tingkat SMP. Dengan nada bangga, ibu darsih mengatakan bahwa Ia akan menyekolahkan anaknya di MTS Yapida saja. Alasannya karena letak sekolahnya dekat dengan rumah dan lingkungannya pun sudah dikenal. Ia merasa senang ketiaka ia akan meneruskan sekolah di MTS Yapida, karena di sekolah tesebut ia memiliki banyak teman sehingga ia tidak merasa sendiri dan asing di sekolah yang akan ia tempati dalam mengenyam pendidikannya nanti.
Sama seperti anak pada umumnya, Encah dapat bersosialisasi dengan baik sehingga ia dapat bermain bersama teman sebayanya. Meskipun Encah adalah anak penyandang cacat, ia tidak merasa minder ataupun malu dengan kedaanya. Lingkungannya juga sangat mendukung karena warga kampung leuwimalang tidak pernah membedakan anak penyandang cacat dan anak normal. Mereka selalu memperlakukan semua anak itu sama. Tapi berbeda dengan lingkungan sekolah ketika Encah SD. Menurut ibunya, terkadang Encah medapatkan kata-kata yang tidak enak di dengar oleh teman-temannya. Namun ibunya salut dengan psikologi Encah karena ia tidak pernah mengeluh kepada ibunya dan ia juga tidak pernah memusingkan ucapan-ucapan yang tidak enak di dengar itu dari teman-temannya.
Meskipun tangan kanan dan kaki kanannya cacat, semangat Encah dalam menuntut ilmu tidak pernah surut. Terbukti ketika ia masih duduk di bangku SD, ia juga bersekolah madrasah seperti anak-anak yang lainnya. Pada pagi hari ia bersekolah di SDN Wibawamulya 01 di kampung Lio, siang hari ia bersekolah madrasah di kampung Lio juga yaitu di madrasah Hidayatul Atfal yang dipimpin oleh ust. Arif Rahman Hakim. Tidak hanya itu, pada sore harinya pun Encah masih menuntut ilmu yaitu dengan mengaji di tempat pengajian ibu hamdah yang memang khusus pengajian anak-anak.
Dengan keterbatasan fisik yang Encah alami, ia masih mementingkan pendidikanya. Ibunya juga begitu menerima dengan kedaan fisik anaknya dan selalu mendukung Encah dalam hal apa pun termasuk pendidikan. Mungkin dari sikap menerima ibunyalah Encah menjadi anak yang penuh semangat dan tidak pernah merasa bahwa ia adalah anak yang kekurangan dalam fisik. Ia merasa diperlakukan dan diperhatikan dengan baik oleh keluarganya, sehingga ia merasakan kenyamanan pada dirinya dan tidak pernah bertingkah aneh selayaknya anak penyandang cacat yang tidak mendapat perhatian dari kelurganya.
Kekurangan fisik bukan alasan bagi Encah dalam menjalani hidupnya seperti orang normal. Ia tidak pernah merasa sedih dengan kedaan fisiknya yang kurang. Ia selalu bersemangat dan ceria menjalani hari-harinya yang penuh dengan kegiatan positif. Belajar dan terus belajar merupakan rutinitas yang ia kerjakan setiap harinya. Membantu ibunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah pun tidak pernah ia tinggalkan. Dari situlah ibunya bangga dengan Encah, meskipun anaknya kekurangan tapi Encah selalu melakukan hal yang baik dan membuat ibunya senang.
Dari kasus ini kita dapat melihat dan belajar betapa hebatnya seorang anak bernama Encah yang begitu semangat dalam menjalani hidupnya meskipun ia memiliki kekurangan. Tidak ada alasan bagi kita sebagai anak normal untuk menjalani hidup ini dengan bermalas-malasan karena jika kita melihat kedaan seorang anak bernama Encah di atas, seharunya kita malu dan bercermin kepada diri sendiri. Anak yang memiliki kekurangan dalam fisiknya saja mempunyai semangat besar dalam menuntut ilmu, jadi apalagi kita yang memiliki kesempurnaan dalam fisik kita harus lebih semangat dalam menuntut ilmu.

“Jadikanlah hidupmu berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Janganlah menjadikan kekurangan yang ada dalam dirimu menjadi hambatan untuk melakukan hal yang positif.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar